Minggu, 31 Maret 2013

PROSPEK PERTANIAN ... ladang emas ke dua


Jika kita berbicara masalah prospek pertanian di Indonesia maka ada beberapa hal yang akan saling mempengaruhi yaitu masalah ketersediaan pangan, tenaga kerja, dan luas lahan. Ketiga hal tersebutakan menjabarkan luas bagaimana pertanian kita untuk kedepannya. Karena dalam mencapai produksi ketiga hal tersebut akan saling mempengaruhi satu sama lain.

Sebagai rujukan, bahwa saat ini ketersediaan pangan di Indonesia masih belum mencukupi. Mulai dari Pangan yang sebenarnya melimpah di Indonesia hingga komoditas pertanian yang bernilai komersiil yang lebih tinggi. Ketidak mapuan Indonesia dalam mencapai ketersediaan pangan yaitu terletak di berbagai sisi. Selain karena penduduk Indonesia yang semakin bertambah sedangkan produksi pertanian  tetap saja, atau bahkan penurunan hasil produksi akibat alih fungsi lahan menjadi perumahan dan industri. Selain itu dengan berubahnya iklim secara signifkan mengakibatkan meledaknya beberapa populasi hama dan penyakit yang mau tidak mau akan menurunkan hasil produksi hingga sekian persen.

Selain itu, ketersediaan tenaga kerja dalam sektor pertanian sangat minim sekali. Umumnya yang menjadi tumpuan bagi pemerintah dalam meningkatkan produksi pertanian adalah orang- orang tua yang sudah tidak produktif lagi. Sebenarnya jika kita tahu bahwa petani - petani yang umurnya sudah lanjut tersebut, kurang begitu ambisius dalam meningkatkan produksi, mereka tidak jarang berfikir bagaimana seharusnya produksi bisa memlampaui target yang diharapkan. Dan mereka melakukan kegiatan bertani hanya untuk kegiatan untuk menyambung hidup saja. Sedangakan dilain pihak sumber daya muda yang produktif, enggan berkecimpung dalam dunia pertanian. Mereka lebih memilih merantau kekota atau pulau lain sebagai kuli dari pada hidup didesa dengan bertani. Jika hal ini berlangsung terus menerus sedangkan petani-petani nonproduktif kita semakin menurun, lalu siapa yang akan berkecimpung dalam penyediaan pangan dunia?
Ini merupakan pertanyaan cukup serius dalam ketersediaan pangan di Indonesia.

Sebenarnya jika kita mau kritis terhadap masalah yang ada, ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah ini. Sebagai contoh, pemerintah harus merubah dulu mindset-minset anak muda kita tentang pandangannya terhadap pertanian, dan memunculkan hasrat untuk lebih peduli terhadap pertanian. Mindset bisa kita ubah dengan     penekatan- pendekatan visual, baik melalui iklan-iklan pendek ditelevisi atau dengan spanduk - spakduk dijalanan, dan ketika orang selesai membaca, minimal tidak memandang sebelah mata lagi tentang pandangannya terhadap pertanian. Setelah pendekatan - pendekatan tersebut berjalan secara kontinyu, pemerintah harus mampu mewadahi anak - anak muda yang ingin memajukan pertanian kita. hal ini bisa dilakukan dengan memfasilitasi SMA-SMA pertanian dikecamatan, karena pada kenyataannya siswa lulusan SMP kurang tertarik karena minimnya fasilitas.

Dilain pihak, untuk kegiatan-kegiatan lain seperti penyuluhan dapat ditambah intensitas dan jumlahnya, karena pada umumnya banyak petani yang tidak medapatkan kesempatan penyuluhan dari petugas karena minimnya waktu dan petugas. kedua hal ini sangat penting untuk peningkatan produksi pertanian. Dengan kegiatan penyuluhan ini petani - dapat berdiskusi dan didapatkan pemecahanya.

Sebagai penunjang kegiatan penanaman, stok pupuk untuk setiap wilayah harus tetap lancar, khususnya pada awal musim tanam yang notabene permintaannya mengalami kenaikan, sehingga terjadi kelangkaan. Hal - hal sepele yang seperti ini haruslah ditanggapi dengan serius, karena dengan terhambatnya suply pupuk akan menghambat produksi pula.
Beberapa uraian diatas mungkin akan bisa sedikt mengatasi permasalahan pertanian dimasa depan. Tinggal sekarang bagaimana keseriusan ini berjalan lama, hingga mencapai kecukupan produksi pangan Indonesia.

Minggu, 24 Maret 2013

Good Speech Dahlan Iskan

Menjadi pemimpin itu dianggap enak. Menjadi pemimpin itu dianggap bisa berkuasa.

Tetapi banyak yang tidak menyadari bahwa untuk bisa menjadi pemimpin yang baik sebenarnya harus pernah membuktikan dirinya pernah menjadi orang yang dipimpin.

Ketika menjadi orang yang dipimpin itu, dia juga bisa menjadi orang yang dipimpin dengan baik. Artinya untuk bisa menjadi pemimpin yang baik harus pernah menjadi anak buah yang baik.

Saya meragukan seseorang yang ketika menjadi anak buah tidak baik, dia bisa menjadi pemimpin yang baik. Menjadi anak buah yang baik itu adalah anak buah yang loyal tetapi juga kritis. Anak buah yang patuh tetapi juga bisa berpikir mana yang baik dan mana yang tidak baik. Anak buah yang selalu bisa memberikan jalan keluar kepada atasannya. Anak buah yang bisa memberikan pemecahan masalah bagi atasannya. Bukan anak buah yang selalu merepotkan atasannya, anak buah yang selalu membikin masalah pemimpinnya dan anak buah yang selalu memberikan persoalan bagi pemimpinnya.

Jadi ketika menjadi anak buah, dia harus bisa menjadi anak buah yang baik, bukan menjadi bagian persoalan dari pemimpinnya, tetapi menjadi problem solver bagi pemimpinnya.

Nah... kalau seseorang itu pernah menjadi anak buah yang baik, dan dalam kurun waktu yang cukup, maka kelak ketika dia naik menjadi pemimpin, dia akan bisa menjadi pemimpin yang baik. Karena seorang pemimpin yang pernah menjadi anak buah yang baik, maka dia bisa mengetahui bagaimana rasanya pernah menjadi anak buah.
Dengan demikian dia bisa tahu apa saja yang diperlukan anak buah dan bagaimana perasaan anak buah. Jadi pemimpin yang baik adalah pemimpin yang pernah menjadi anak buah yang baik.

KESAKTIAN GUS DUR

 Mukafi Niam, dari media resmi PBNU memaparkan, suatu ketika, Khoirul sedang berada di Majenang Cilacap mengantar Gus Dur dan beberapa orang anggota rombongan dalam dua mobil. Saat itu sudah jam 12 siang dan Gus Dur mengajak pulang karena di rumah ada tamu yang harus ditemuinya pada jam 13.00.

Ia pun segera putar arah dan mobil rombongan di belakang mengikutinya di belakang. Karena sudah ada janji, ia ngebut, tetapi tak yakin bisa segera sampai di Ciganjur, tempat tinggal Gus Dur tepat waktu.

Ia berpikiran, paling-paling bisa sampai di Jakarta pukul 3 atau 4 sore mengingat jaraknya yang sangat jauh. Rute yang harus dilalui masih sangat jauh karena harus melewati kawasan Puncak yang jalannya kecil, berliku-liku dan naik turun. Saat itu belum ada tol Cipularang.

Ia pun tetap menggeber mobilnya secepat yang bisa ia lakukan. Mobil rombongan satunya di belakang tidak kelihatan, tampaknya sudah jauh ketinggalan.

Singkat kata, sampailah mobil yang disetirinya di rumah Gus Dur dan ia merasa lega selamat sampai di rumah. Ia menengok jam tangannya. Angka yang masih diingatnya sampai sekarang, “pukul 13.12 menit”.

Jarak Jakarta - Cilacap ternyata hanya ditempuh dalam waktu 1 jam lebih sedikit. Dan, Gus Dur tidak terlambat menerima tamunya yang juga baru saja sampai. Rombongan mobil di belakangnya baru sampai di Ciganjur pukul 16.30, beda empat jam lebih dari perjalanannya.

Kisah lainnya adalah ketika Gus Dur berjanji menjemput tamunya di bandara Soekarno Hatta pada pukul 1 siang. Ia masih di ujung Tol Cikampek, yang kondisinya sedang macet sehingga diperkirakan baru jam tiga sampai di bandara, tapi faktanya. Tapi ia bisa sampai tepat waktu di bandara untuk menemui tokoh kehormatan tersebut.

Yang lebih spektakuler lagi kejadian ketika Gus Dur mau berangkat ke NTB untuk memenuhi undangan di sana dan hanya ada satu kali penerbangan dari Jakarta. Pikirannya sudah dag dig dug, “Bisa ngejar pesawat apa tidak”. Mereka bertiga bersama dengan Aries Junaidi, mantan sekretaris Gus Dur dalam perjalanan di kawasan Kuningan yang terkenal sebagai daerah kemacetan.

Semuanya terdiam dalam perjalanan yang menegangkan tersebut, suasana dan mobil yang biasanya penuh obrolan dan canda ini sunyi. Matanya melirik ke arah Gus Dur yang dilihatnya sedang komat-kamit sambil menundukkan kepala.

Aries minta turun di Mampang Prapatan karena mau membesuk salah satu kenalannya yang sedang dirawat di RS MMC. Ia pun segera meneruskan perjalanannya ke Bandara. Disana staff Gus Dur, Sulaiman dan Yuni sudah mengurus check in tiket dan ketika sampai, Gus Dur bisa tinggal boarding saja.

Sekitar 18 menit kemudian, Aries Junaidi meneleponnya, menanyakan sudah sampai dimana, ternyata ia sudah balik dari bandara menuju ke Ciganjur sementara Aries sendiri masih belum turun dari ojek.

“Iki, nek nurut akal ora iso,” katanya.

Sabtu, 23 Maret 2013

ADA UPETI DI LOKALISASI SUKO

Setoran Rp. 8 Juta per bulan untuk oknum aparat

 Lokalisasi Suko yang berada di Kecamatan Sumberpucung sudah sejak dua dekade ini di wacanakan akan ditutup. Namun hingga saat ini lokalisasi terbesar diKabupaten Malang itu masih '' aman '' berdiri. Menurut beberapa sumber, telah ditemukan data baru bahwa setiap bulan penghuni lokalisasi menyetor upeti kepada oknum polisi dan oknum PNS Pemkab Malang.

Indikasi adanya upeti yang telah berlangsung sejak tahun 1979 itulah bisa jadi yang membuat Lokalisasi Suko sulit untuk di tutup dan tetap eksis hingga saat ini. Padahal sudah banyak elemen masyarakat dan warga Kabupaten Malang menginginkan Pemkab segera menutup Lokalisasi tersebut.

Setoran yang diberikan penghuni minimal Rp. 8 juta perbulan agar tetap aman dan biar tetap operasi. Ironis, setoran berantai itu terkumpul dari para PSK dan di kumpulkan oleh Perangkat Desa yang berada di Suko. Perangkat Desa itulah yang kemudian mendistribusikan dan membagi-bagikan kepada oknum-oknum tersebut.

Tidak mustahil, dengan uang keamanan yang di berikan, lokalisasi suko benar-benar aman dari penutupan dan bahkan dari hari ke hari malah kian ramai. wah..wah berat pak de ...... udah dapat setoran, gratis pula mencicipi '' kue-nya '' .

Kamis, 14 Maret 2013

Refleksi Kekuatan Pemuda Saat Ini

 Banyak yang berkata pemuda adalah aset bangsa. Pemuda dengan segarnya selalu mengajukan ide-ide kreatif dalam diskusi-diskusi sederhana yang diikutinya. Jika tujuannya positif, ide-ide tersebut akan diapresiasi, dapat memberi manfaat, dan pemiliknya sudah barang tentu akan dihargai. Itulah yang mendasari koaran Bung Karno puluhan tahun lalu yaitu, “Beri aku sepuluh pemuda, maka akan kuubah dunia!” Namun, apa jadinya jika ide-ide tersebut digunakan untuk tujuannya yang tidak tepat? Kiranya itu yang melatarbelakangiku menyusun tulisan ini selain sebagai respon diperingatinya hari sumpah pemuda 28 hari yang lalu.
    Banyak faktor yang menjadikan pemuda akhirnya terjerumus dalam hal-hal yag merugikannya, bahkan orang-orang di sekitarnya. Mengingat kematangan mental pemuda yang masih berada pada taraf menengah, boleh jadi ia belum sepenuhnya dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Belum lagi budaya ikut-ikutan teman dan tren yang sedang berkembang, kondisi ekonomi yang berada di bawah rata-rata, lingkungan sosial yang kurang mendukung seringkali memaksa pemuda melakukan hal-hal yang dianggapnya dapat meretas eksistensinya di tengah-tengah kehidupan sosialnya. Sebab, pada dasarnya setiap orang ingin diakui sebagiamana layaknya manusia. Hal tersebut tidak menjadi masalah selama intensitas bimbingan orangtua dan upaya keluarga terdekat menujukkan arah yang semestinya masih merangkul bahu pemuda tersebut. Anggap saja hal tersebut sebagai manuver yang memang secara alami terjadi dalam masa pencarian jati diri pemuda. Akan tiba gilirannya grafik kematangan pemuda menjadi ajeg dan stabil seiring pengalaman dan pemahamannya akan hidup selama ini. Pendidikan moral dan tata laku juga perlu diberikan agar pemuda sedikit demi sedikit menyesuaikan antara apa yang selama ini telah dilakukannya dengan rujukan yang diberikan oleh orang-orang yang menyayanginya. Dengan sendirinya, ia akan membuat prioritas-prioritas yang akan mempengaruhi kesadarannya.
    Yang menjadi keprihatinanku baru-baru ini, seorang kenalan di kampus pernah bercerita tentang salah seorang temannya yang sungguh tidak tahu diri. Ia mengambil 2 kesempatan beasiswa sekaligus, namun sebagian besar uang beasiswa tersebut ia belanjakan untuk hal-hal yang tergolong mewah mengingat statusnya kini sebagai mahasiswa fakultas kedokteran. Aku pun sempat berniat mengambil 2 kesempatan beasiswa juga, tetapi itu tidak kulakukan mengingat beberapa peraturan yang harus dipatuhi sebagai penerima beasiswa dan tentu saja tujuanku bukan untuk bermewah-mewah seperti teman dari kenalanku itu. Yang menjadi pertanyaan, sudah seberapa matangkah kesadarannya sebagai mahasiswa fakultas kedokteran? Akankah ia bertanggung jawab atas nilai-nilai akademisnya sebagai penerima 2 beasiswa? Apa yang melatarbelakanginya melakukan pemborosan itu? Apakah keluarganya mengetahui hal itu? Apakah mungkin hanya karena keluarganya jauh darinya ia lantas melupakan nasihat-nasihat yang mungkin pernah diberikan padanya terkait hal itu? Atau, apakah keluarganya justru mendukung apa yang telah ia lakukan terhadap uang beasiswa yang diterimanya? Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab oleh narasumber yang semestinya itu, aku hanya mampu menadahkan tangan, berdoa untuk yang terbaik.
    Terkenang kembali olehku pesan-pesan seorang senior dalam mengemban tugas sebagai seorang mahasiswa, bahwa subsidi pemerintah telah banyak diberikan untuk pendidikan kami. Selayaknya hal tersebut menjadi acuan dalam merefleksikan kinerja yang selama ini telah kami lakukan. Akankah kami membiarkan fasilitas itu hanyut seketika? Tidak ada kesadaran dan nurani kami menyambut peluang emas yang bahkan tidak pernah dengan sungguh-sungguh kami minta? Bahkan, dengan mereka yang sungguh-sungguh menginginkan peluang emas tersebut kami terkadang berlaku sombong. Dalam menyelesaikan masalah-masalah kecil saja, akal kami terkadang sungguh manjanya. Padahal, kami disiapkan bekal dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi masalah-masalah yang lebih pelik. Aku masih ingat betul seniorku itu berkata, “Ingat-ingat aja berapa kepala keluarga yang menjadi tanggungan kita.” Rasanya hal itu bukan saja menuntut kewajibanku untuk memberi kepastian terhadap masa depan negeri ini, tetapi juga sekaligus menegaskan kepercayaan yang ia berikan kapadaku untuk dapat melakukan kewajiban itu.
    Yang terjadi padaku, bukan berarti jauh berbeda dengan teman dari kenalanku pada cerita sebelumnya. Tentunya aku banyak juga melakukan penyimpangan terhadap tugas-tugas yang kuemban baik sebagai mahasiswa, maupun sebagai penerima beasiswa. Namun, tujuanku tetap yang terbaik dan melalui tulisan ini, aku berusaha mengevaluasi penyimpangan-penyimpangan tersebut. Masalah-masalah di depan, marilah kita hadapi secara lebih bijaksana. Tanggung jawab yang dibebankan pada diri kita, marilah kita sambut dengan keyakinan untuk melaksanakannya sebab banyak pihak telah memberi dukungan dan banyak juga yang menanti turunnya tangan kita. Tidak perlu menunggu pemerintah atau orang lain untuk bertindak. Lakukan yang terbaik dengan tangan kita lebih dulu, maka bantuan akan datang dengan segera dan pekerjaan pun akan terasa lebih cepat, ringan, dan efektif. Jika rasanya tidak ada yang dapat kita berikan, doa, semangat, dan harapan selalu dapat menyuplai energi teman-teman kita. Melangkahlah dengan senyum Pemuda Indonesia yang bersinar!

Rabu, 13 Maret 2013

Anak Muda Berani Jujur? Hebat!






Sepanjang tahun 2012 lalu, banyak sekali berita mengenai kasus korupsi yang sudah kita saksikan bersama-sama. Media massa ramai mengupas kasus-kasus korupsi tanah air. Nama-nama seperti Nazarudin, Angie, dan Hartati Murdaya Poo sudah jadi “hiasan” tajuk utama pemberitaan.
Bagi teman-teman yang muak dengan berita-berita ini, kamu tidak sendiri. Banyak orang yang pirhatin dan kesal melihat ulah para koruptor di tanah air. Sepertinya tidak habis-habis daftar koruptor ini kalau dijabarkan. Banyak orang menanti: siapa lagi habis ini?
 Korupsi yang menghantui negara kita tercinta ini memang menjadi perhatian masyarakat banyak. Dimana-mana orang membicarakan korupsi. Mulai dari obrolan warung kopi sampai talk show di televisi yang mengundang berbagai ahli. Tapi, berpikir bahwa korupsi hanya “urusan orang-orang atasan”, atau “topik yang tidak perlu di bahas” sebenarnya tidak. Korupsi sebenarnya sangat dekat dengan keseharian kita, dengan pilihan-pilihan yang dibuat oleh nurani dan moral kita. Tidak percaya? Ini contohnya.
Pernahkah kamu mengendarai mobil atau motor dan melanggar aturan lalu lintas—kemudian berinisiatif “berdamai” dengan polisi? Nah, sebenarnya menyuap aparat penegak hukum itu termasuk tindak pidana korupsi, lho. Korupsi yang dibahas disini merupakan bagian dari gaya hidup, bukan hanya dalam konteks hukum atau peradilan saja. Arti kata korupsi sendiri adalah “merusak” dari Bahasa Latin “corruptio”. Nah, makanya segala tindakan kita yang merusak, sebenarnya bisa diartikan sebagai tindak korupsi. Ketika kita terlambat dan membuat orang lain membuang waktu, kita telah melakukan korupsi terhadap waktu orang itu. Ketika kita “melebihkan” budget buku atau uang sekolah/ kuliah pada orang tua untuk nonton atau beli baju baru, itu juga termasuk korupsi, karena kita menyalahgunakan kepercayaan (Dan jabatan kita sebagai anak) untuk “memakan” apa yang bukan hak kita.
Sebagai anak-anak muda Indonesia yang hebat, penting buat kita semua untuk memahami betapa berbahaya korupsi, supaya kita bisa menghindarinya dan menjalani hidup yang lebih berkualitas.
Pernahkah teman-teman melihat negara-negara di Eropa seperti Swedia dan Finlandia? Kota-kota disana sangat bagus, tata kotanya sungguh rapi dan membuat kita yang tinggal di kota-kota seperti Jakarta yang semrawut, positif iri sekali! Tapi keberhasilan pembangunan dan keteraturan harmonis di Swedia atau Finlandia itu tidak terjadi begitu saja. Warga disana (disamping pemerintahnya, tentu) sangat disiplin dan menjaga gaya hidup yang baik. Mereka tidak membuang sampah sembarangan, menaati peraturan lalu-lintas, dan lain sebagainya. Negara-negara ini juga termasuk yang rendah indeks persepsi korupsinya. Keberhasilan pembangunan mereka juga didukung pemerintahan dan gaya hidupyang jauh dari korupsi dan kecurangan.
Jika kita ingin bisa seperti Swedia atau Finlandia, yuk kita mulai dari introspeksi diri kita sendiri. Apakah kita masih buang sampah sembarangan? Menyerobot antrean? Melanggar aturan lalu lintas? Tidak bayar pajak—bagi teman-teman yang sudah bekerja? Kalau diurai memang akan panjang bahwa banyak “kenakalan” yang kita lakukan tapi ternyata turut menyumbang polusi di atmosfer berbangsa yang sudah kadung penuh udara korupsi. Butuh kerelaan dan kemauan kuat untuk mengubah gaya hidup kita.
Kalau kita terus bermimpi akan Indonesia yang lebih baik, bosan dan muak melihat berita-berita tentang kasus korupsi, tapi kita tidak melakukan apapun untuk mengubahnya, selamanya kita sulit maju. Cita-cita menjadi bangsa yang besar, hanya mimpi belaka. Mari kita mulai dari diri kita sendiri. Terapkan keberanian untuk berpikir, bertindak, dan berbicara jujur dari sekarang. Jujur adalah langkah pertama dalam memerangi korupsi. Dengan menjadi anak-anak muda jujur, kita belajar untuk merajut kualitas hidup kebangsaan yang lebih baik. Yuk, jadi anak muda yang anti korupsi dan pro gaya hidup berani jujur hebat. Semesta muda yang anti korupsi akan membawa perubahan luar biasa bagi Indonesia!