Tawasul[1]
berarti perantara atau penghubung, sebagaimana Allah memiliki Ruhul
Amiin, Jibril AS, untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW.
Demikianlah pencapaian makrifat kepada Allah, yakni terungkapnya hijab
dengan Allah melalui rantai-rantai wasilah, yakni perantara yang sampai
kepada Rasulullah. Demikian karena si hamba dhaif lagi faqir, maka
perlulah bertawassul kepada Balatentara Allah yang suci agar hajatnya
mudah sampai hadhirat Allah Yang Agung lagi Suci daripada gambaran hamba yang hina.
Perintah Allah Ta’ala dalam Al-Quran:
“Wahai
orang-orang yang beriman, taqwalah engkau kepada Allah dan carilah
wasilah sebagai jalan yang mendekatkan dirimu kepadaNya dan
bermujahadahlah (berjuanglah) pada jalanNya, supaya kamu mendapatkan
keberuntungan”.[2] (QS. Al-Maidah[5]:35).
DR. Muhammad
Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa Al-Wasilah adalah segala sesuatu
yang dijadikan Allah sebagai penyebab untuk mendekatkan diri kepada
Allah, dan penyambung untuk dipenuhNya segala kebutuhan. Untuk itu, demi
menjayakan tawasul, yang ditawasuli atau yang menjadi
perantara itu mesti mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT
sebagai yang dituju dengan tawasul.
Orang yang
bertawasul dengan perantara seseorang berkeyakinan bahwa orang tersebut
adalah orang saleh atau Wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan
menurut prasangka baik terhadapnya. Orang-orang tersebut dianggapnya
sebagai orang yang dekat kepada Allah dan dicintaiNya. Sebab orang yang
menanamkan rasa cinta dan keyakinan yang erat pada kalbunya akan dibalas
karenanya. Allah SWT berfirman: “….. Dia mencintai mereka dan mereka
pun mencintai-Nya..” (QS. Al-Maidah[5]:54). Jadi orang yang bertawasul
menurut hakikatnya bertawasul kepada Allah.
Seakan-akan orang
yang bertawasul kepada seorang Awliya itu berkata, “Wahai Tuhan,
sesungguhnya aku mencintai si Fulan. Aku berkeyakinan bahwa ia
mencintai-Mu. Ia adalah orang yang suka beribadah secara ikhlas untuk
berbakti kepada-Mu. Saya juga berkeyakinan bahwa Engkau mencintainya dan
meridhainya. Maka aku bertawasul – membuat perantara – untuk menuju
kepada-Mu dengan perantaraan kecintaanku kepadanya dan lewat keyakinanku
mengenai dirinya, hendaklah Engkau mengabulkan permohonanku, dan ….”
Tetapi kebanyakan orang tidak mampu merinci keyakinan mereka mengenai
yang ditawasuli – yang menjadi perantara – dengan keyakinan bahwa Allah
SWT Yang Mengetahui – yang mengetahui segala ada di langit dan bumi
serta mengetahui kedipan mata dan apa yang tersembunyi di dada – itu
lebih jeli dan lebih mengetahui keyakinan orang yang bertawasul terhadap
yang ditawasuli.
Inilah juga yang
mendasari tawasul dengan rabithah, yang hanya membayangkan wajah seorang
Awliya (Mursyid) akan mendekatkan kalbu (dirinya) kepada Allah SWT, dan
yang berabithah itu tidak merinci apa-apa yang terbetik dalam dadanya.
Hal tersebut amat mujarab dan banyak terbukti, telah dilakukan oleh
banyak kalangan Ahli Tasawuf dan Hakikat.
Kata-kata
Al-Wasilah (perantara) yang dimuat ayat Al-Quran itu bersifat umum.
Dengan demikian, ia mencakup tawasul dengan zat atau pribadi yang mulia
dari kalangan para Nabi dan orang-orang saleh, baik ketika mereka masih
hidup maupun setelah wafatnya; juga mencakup tawasul kepada Allah dengan
perantaraan amal-amal nyata yang baik yang diperintahkan Allah SWT dan
Rasulullah SAW. Bahkan, amal perbuatan yang telah lalu dapat juga
dijadikan sebagai wasilah atau perantara dalam bertawasul.
DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani menjelaskan beberapa makna bertawasul:
1. Tawasul
termasuk salah satu cara berdo’a dan salah satu pintu untuk menghadap
kepada Allah SWT. Jadi, yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang
sebenarnya – dalam bertawasul – adalah Allah SWT. Sedangkan yang
ditawasuli (al-mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah dan
wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan
demikian, siapa yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah
menyekutukan Allah.
2. Sesungguhnya
yang bertawasul itu tidak bertawasul dengan (menggunakan) perantara
(al-mutawassal bih), kecuali karena ia mencintai perantara itu, seraya
berkeyakinan bahwa Allah SWT-pun mencintai perantara tersebut. Jika
tidak demikian, ia akan termasuk manusia yang paling jauh dari perantara
tersebut, bahkan akan menjadi manusia yang paling benci kepadanya.
3. Jika
yang bertawasul berkeyakinan bahwa yang ditawasuli atau yang menjadi
perantara (al-mutawassal bih) itu berkuasa memberikan manfaat dan
menolak mudharat dengan kekuasaannya sendiri – seperti Allah atau lebih
rendah sedikit – maka ia telah menyekutukan Allah SWT.
Pada
intinya tawasul itu sendiri merupakan wujud birokrasi umat sekarang
terhadap umat terdahulu. Karena seandainya tidak ada jasa baik dan
ijtihad umat terdahulu, maka tidak akan mungkin ada Iman dan Islam umat
di akhir zaman. Inilah bukti komitmen orang yang bertawasul terhadap
keberadaan mereka, sebagai realisasi perilaku orang-orang yang
bermoral/berakhlak mulia.
Begitulah para
ahli Thariqat, bertawasul kepada guru-gurunya hingga kepada Rasulullah
SAW, yang menandakan keabsahan birokrasi Ilahiyah. Inilah kemudian yang
dapat menjadikan layaknya mandat seseorang dalam memangku sebuah
kepemimpinan semacam thariqat Rasul.
(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)
[1] Pengertian Tawasul secara perkataan:
“Bertawasul ia
kepadanya dengan suatu wasilah, sama dengan mendekatkan diri ia
kepadanya dengan suatu amal”. (Lisanul ‘Arab, Juz XIV: 250)
[2] Dalam
Al-Quran ada 2 tempat yang menyebutkan ‘Wasilah’, satu ayat lainnya
Surat Al-Isra’[17]: 57): “Mereka mencari perantara untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan”.
Pembahagian Tawasul
Tawasul itu
terbagi menjadi tiga tingkatan nilai. Pertama yang dinilai sebagai
Tawasul bis Silsilah, yakni bertawasul dengan jalinan yang bersambungan
antara orang yang bertawasul dengan Guru-guru talqin dzikir hingga
sampai kepada Rasulullah SAW. Tawasul inilah yang shahih dan utama, yang
bersifat menyampaikan, karena mempunyai hubungan yang erat antara orang
yang bertawasul dengan yang ditawasuli.
Yang kedua,
dinilai sebagai Tawasul bil Barokah[1]. Yakni bertawasul dengan para
Nabi, para Awliya dan Sholihin yang tidak mempunyai hubungan silsilah
dzikir dengannya, meskipun jalinan yang ditawasuli itu merupakan orang
yang amat dikenal kesalehannya seperti: Khalifah yang empat (Abu Bakar
Ra., Umar Ra., Utsman Ra., Ali Ra.), para Imam madzhab, para Mursyid,
Awliya, Shalihin, dsb. Bertawasul kepada mereka semua hanyalah sebagai
penghormatan, dan kita mengharapkan keberkahan dari kesalehannya.
Yang ketiga,
dimasukkan dalam kategori Tawasul lil Hadiyah. Yakni bertawasul atau
memberikan Fatihah kepada orang-orang yang mempunyai hubungan/hak dengan
kita, namun tidak mempunyai hubungan rantai zikir, seperti kedua orang
tua, saudara-saudara kita sesama muslim, dsb. Dan kita tidak boleh
menggunakan jalinan orang-orang yang masih diragukan kesalehannya,
apalagi yang masih mengharapkan ampunan dan syafa’at dari orang-orang
yang masih hidup. Secara syari’at kita-lah yang masih hidup yang pantas
menolong mereka, bukan mereka yang kita mintakan tolong untuk
menyampaikan hajat kita kepada Allah SWT.
Alat perantara
zikir itu terdiri menjadi 2 bahagian: (pertama) dengan jalinan/tokoh
yang telah mendapat mandat kekhalifahan (istikhlaf), dan diakui
kesalehannya (dekat kepada Allah), dan (kedua) dengan amal saleh yang
telah dilakukannya. Berkenaan dengan masalah ini Berkata Syaikh Ismail
Al-Khalidi Rahimahullah:
“Dan wasilah
(jalan) itu dengan segala macam amal salih. Dan tiadalah diperoleh amal
salih itu kecuali dengan ikhlas. Dan tidaklah amal yang salih itu
kecuali bersih daripada campuran-campuran kekotoran hati. Dan bagi kami
telah berhasil dengan berbagai pengalaman-pengalaman bahwa sesungguhnya
jika kami menyibukkan dengan Rabithah, maka hilanglah campuran-campuran
lalai hati daripada amal-amal kami”. Jadi amal yang lalai itu hampa dan
dengan wasilah maka hilanglah lalai itu. Sebab hilangnya lalai itu ialah
Hudhurnya hati. Dan semulia-mulia & seutama-utama wasilah adalah
dengan Rabithah.
Contoh
bertawasul dengan amal adalah sebagaimana dituturkan oleh Rasulullah
SAW kepada kita mengenai kisah 3 orang yang terhimpit di dalam gua.
Hadits itu adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA. Berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
‘Terjadi
pada masa dahulu sebelum kalian, ada 3 orang berjalan-jalan hingga
terpaksa bermalam di dalam gua. Tiba-tiba ketika mereka sedang berada
dalam gua itu, jatuh sebuah batu besar dari atas bukit dan menutupi
pintu gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkatalah mereka:
‘Sungguh tiada suatu yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini,
kecuali jika bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang pernah
kamu lakukan dahulu kala’. Maka berkata seorang di antara mereka: ‘Ya
Allah! Dahulu saya mempunyai ayah dan ibu, dan saya biasa tidak memberi
minuman susu pada seorangpun sebelum keduanya, yakni ayah ibu saya
meminumnya terlebih dahulu, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Maka
pada suatu hari agak kejauhan bagiku menggembala ternak, hingga tidak
kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam dan ayah bundaku telah
tertidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya, dan saya pun
segan untuk membangunkan keduanya, dan saya pun tidak akan memberikan
minuman itu kepada siapa pun kecuali ayah bunda saya. Maka saya tunggu
keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan minum daripada
susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu juga anak-anakku
sedang menangis minta susu itu, di dekat kakiku. Ya Allah! Jika saya
berbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhaanMu, maka
lapangkanlah keadaan kami ini’. Maka menyisih sedikit batu itu, hanya
saja mereka belum dapat keluar daripadanya. Orang yang kedua berdo’a:
‘Ya Allah! Dahulu saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis
pamanku, maka karena sangat cinta kasihku, saya selalu merayu dan ingin
berzina padanya, tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat
ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku, maka saya
berikan padanya wang 120 dinar tetapi dengan janji bahwa ia
akan menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika
saya telah berada di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia berkata:
‘Takutlah kepada Allah dan jangan engkau pecahkan tutup kecuali dengan
cara yang halal. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih
tetap menginginkannya, dan saya tinggalkan dinar emas yang telah saya
berikan kepadanya itu. Ya Allah! Bila saya berbuat itu semata-mata
karena mengharap KeredhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kemalangan
ini. Maka bergeraklah batu itu menyisih sedikit, tetapi mereka belum
juga dapat keluar daripadanya’. Yang ketiga berdo’a: ‘Ya
Allah! Saya dahulu adalah seorang majikan yang mempunyai banyak buruh
pegawai, dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu,
tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu, segeralah
ia pergi meninggalkan upah dan terus pulang ke rumahnya tidak kembali.
Maka saya pergunakan upah itu hingga bertambah dan berbuah hingga
menjadi suatu kekayaan. Kemudian setelah lama datanglah buruh itu,
berkata: ‘Hai Abdullah! Berilah kepadaku upahku yang dahulu itu!’
Jawabku: ‘Semua kekayaan yang di depanmu itu merupakan upahmu, berupa
unta, lembu, dan kambing serta budak penggembalanya’. Berkata orang itu:
‘Hai Abdullah! Kau jangan mengejekku!’ Jawabku: ‘Aku tidak mengejekmu’.
Maka diambilnya semua yang saya sebut itu dan tiada meninggalkan
satupun daripadanya. Ya Allah! Jika saya berbuat itu karena mengharapkan
KeridhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kesempitan ini’. Tiba-tiba
menyisihlah batu itu hingga keluar mereka semua dengan selamat’.[2]
Sedangkan contoh
bertawasul dengan jalinan adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Thabrani
dalam Mu’jamus Shagir, Al-Hakim Naisaburi dalam Mustadrak ash Shihhah,
Abu Nu’aim dan Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah, Ibnu ‘Asakir Syami
dalam Tarikh-nya, dan Imam Hafizh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur
serta dalam Ruhul Ma’ani dengan sanad dari S. Umar bin Khatthab, menukil
bahwa Nabi SAW bersabda:
“Ketika
Nabiyyallah Adam melakukan dosa, ia menengadahkan kepalanya ke langit
dan berkata: ‘Wahai Tuhan, aku memohon kepadaMu dengan Haq Muhammad agar
Engkau mengampuniku’. Lalu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Siapakah
Muhammad?’ Nabiyyallah Adam menjawab: ‘Ketika Engkau menciptakanku, aku
mengangkat kepala ke arah ‘ArasyMu, dan lalu aku melihat, di sana
tertulis: Laa Ilaaha Illallaaah Muhammadur Rosulullaah. Akupun berkata
kepada diriku, bahwa tiada seorangpun yang lebih agung daripada orang
yang namanya telah Engkau tuliskan di samping NamaMu’.
Ketika itu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Dialah Nabi yang terakhir
daripada keturunanmu, dan jika tidak karena dia, niscaya Aku tak akan
menciptakanmu’.
Dalam suatu
hadits yang ditakhrijkan Ibnu Majah dan An-Nisa‘i dalam Sunan-nya,
demikian pula At-Tirmidzi (beliau memberikan nilai shahih atasnya),
disebutkan:
“Bahwa seorang
buta pernah datang kepada Nabi SAW seraya berkata: ‘Yaa Rasulullah,
sesungguhnya aku mendapat musibah pada mataku, maka berdo’alah engkau
untukku kepada Allah’. Maka sabda Nabi SAW kepadanya: ‘Berwudhulah
engkau dan shalatlah 2 raka’at, lalu katakan demikian: Yaa Allah,
sesungguhnya aku bermohon dan menghadap kepada Engkau, dengan Nabi-Mu
Muhammad. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menuntut syafa’at engkau
dalam pengembalian penglihatanku ini. Yaa Allah, perkenankanlah syafa’at
Nabi ini kepadaku. Dan sabdanya: ‘Maka jika ada bagimu sesuatu
keperluan, katakanlah seperti itu!’ ”
Demikianlah
pembagian tawasul yang penting untuk kita pahami dengan sebenarnya.
Selanjutnya cara bertawasul yang benar, harus diisi dengan
hajat/keperluan yang benar pula. Sebab di masa sekarang ini, banyak
orang yang menyalahgunakan tawasul untuk keperluan yang jauh dari Ridha
Allah SWT, tidak sebagaimana para pendahulu kita yang menggunakan
tawasul semata-mata untuk ibadah, atau mendekatkan diri (ber-taqarub)
kepada Allah semata. Di antaranya adalah untuk mendapatkan ilmu-ilmu
tertentu seperti kebal, dll., dijadikan nadzar untuk maksud-maksud
duniawi, dsb. Kenyataan inilah yang membuktikan pentingnya pembimbing
dzikir/tawasul bagi orang yang sedang menekuni jalan ini agar tetap
lurus tawasul-nya awal maupun akhir.
Wallahu A’lam.
(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar