oleh Imam Suprayogo Dua (Catatan) pada 26 Mei 2013 pukul 12:03
Mendengarkan pembicaraan tentang kepemimpinan, selalu saja dikaitkan dengan  amanah. Bahwa pemimpin itu adalah amanah. Tugas pemimpin adalah memikul dan mengemban amanah. Sebagai amanah maka harus ditunaikan. Amanah adalah kepercayaan, tugas,  dan juga beban. Siapapun tidak mau mendapatkannya, kecuali orang-orang yang benar-benar telah diberi dan yang bersangkutan mampu dan bersedia mengambilnya.

Suara yang terdengar  bahwa kepemimpinan itu adalah amanah ternyata agaknya berbeda dengan yang ada pada tataran batin seseorang.  Kepemimpinan dalam batin banyak orang dipandang sebagai prestise, gengsi, martabat, kekuasaan, fasilitas, pengaruh, kekayaan, dan lain-lain. Perbedaan  cara pandang itu, menghasilkan  berbeda pula cara mensikapinya. Manakala kepemimpinan  dipandang sebagai amanah maka siapapun akan menghindar. Akan tetapi manakala posisi pemimpin dimaknai   sebagai gengsi,   presitise, harta kekayaan, fasilitas, dan seterusnya, maka akan dikejar-kejar, apapun caranya.

Islam mengajarkan bahwa posisi pemimpin adalah amanah. Selainjutnya amanah itu harus ditunaikan. Orang yang mengejar amanah, maka diangap bodoh. Dalam suatu kisah yang bisa diperoleh dari kitab suci,  Tuhan  telah menawarkan amanah itu kepada berbagai makhluk-Nya,  tetapi semuanya menolak, kecuali manusia. Sikapnya menerima amanah itu, maka disebut jahil atau bodoh. Bahkan pada zaman sekarang ini, orang  tidak saja begitu mudah menerima amanah, melainkan malah mencari, berebut,  dan bahkan membelinya.  Manusia memang luar biasa bodohnya.

Tentu,  mereka yang terlibat mengejar posisi pemimpin itu tidak pernah merasa bodoh. Apa yang  mereka lakukan adalah wajar,lazim,  dan pantas. Pandanganh seperti itu muncul oleh karena jabatan atau kepemimpinan itu  bukan dimaknai sebagai amanah, melainkan prestise, gengsi, harta kekayaan,  dan seterusnya. Maka,  apa salahnya, hal itu dilakukan. Apalagi,  banyak orang juga melakukannya. Anehnya, orang yang mengerti agama  juga ikut-ikutan berebut, atau paling tidak membenarkan perilaku haus dan mengejar amanah itu. 

Mendasarkan  pada gambaran tersebut, maka pertanyaannya adalah,  apa sebenarnya yang sedang terjadi  pada  kehidupan berbangsa dan berbegara sekarang ini.  Apakah kepemimpinan atau kekuasaan dipandang sebagai amanah atau sebagai sarana untuk memperoleh kekuasaan, prestise, gengsi, fasilitas,  dan harta kekayaan dan seterusnya itu. Pertanyaan itu rupanya tidak sulit dicari jawabnya. Apa yang kita lihat bersama sehari-hari lewat berbegai jenis media, dan bahkan juga  secara mudah kita saksikan di mana-mana, banyak orang mempromosikan diri sebagai pemimpin, maka jelas bahwa kepemimpinan belum dimaknai sebagai amanah.

Bangsa Indonesia ini berharap bangkit dan menghendaki kemajuan, adil dan makmur, damai dan sejahtera. Tujuan mulia dan agung itu sebenarnya sudah ada jalan yang terang untuk meraihnya. Selain itu sebenarnya juga telah ada contoh yang bisa diikuti. Nabi Muhammad saw., telah memberikannya, yaitu ketika utusan Allah itu membangun masyarakat ideal, ialah masyarakat Madinah. Kepemimpinan masyarakat oleh Nabi dipandang sebagai amanah, dan bukan sebagai tempat untuk mendapatkan gengsi,  prsitise, dan apalagi harta kekayaan. Maka,  usaha nabi itu kemudian menjadi berhasil dengan gemilang.

Para elite bangsa ini sebenarnya juga sudah tahu tentang sejarah itu. Jalan menuju kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian dan seterusnya sudah diketahui.  Bahwa siapapun yang ingin menjadi pemimpin  harus mau berjuang untuk rakyat, pemimpin adalah amanah yang harus ditunaikan, posisi pemimpin adalah pengabdi kepada rakyat, dan seterusnya,  adalah sudah  mengerti.  Konsep itu telah menjadi milik masyarakat.  Hanya saja apa yang diungkapkan secara dhohir  ternyata belum berkesuaian dengan suara batinnya sendiri.  Suara batin masih mengatakan bahwa posisi kepemimpinan adalah prestise, gengsi, dan harta kekayaan.  Atas dasar suara batin itu, maka mereka berebut, dan bahkan juga membelinya.

Keadaan seperti itulah sebenarnya yang menjadikan bangsa ini sulit bangkit dan masih selalu tertinggal dari bangsa lain.  Bangsa  yang mengaku sebagai bersifat religious, maka para pemimpin tidak sepantasnya sibuk berebut posisi dan  saling menjatuhkan antar sesama, sekedar  memenuhi suara  nafsunya. Sumber daya manusia  telah  dipandang  mahal harganya. Pandangan itu adalah benar. Kemajuan selalu dipengaruhi oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas.  Namun,  oleh karena konflik dan perebutan posisi itu maka tidak ayal, mereka  menjadi korbannya. 

Sebagai akibat dari keadaan yang digambarkan itu, maka anak-anak muda yang telah lulus dari berbagai perguruan tinggi terkemuka, -----dari dalam negeri atau dari luar negeri, menjadi terabaikan,  atau tidak bersedia  pulang untuk  mengabdikan diri di negerinya sendiri. Mereka  tidak diberi amanah yang semstinya. Posisi-posisi strategis justru diperebutkan oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Itulah sebagai akibat amanah tidak dipahami sebagai amanah, melainkan sebagai lahan untuk mengejar prestise, gengsi, kedudukan, dan bahkan juga kekayaan. Bangsa ini tidak maju, hingga rakyatnya masih banyak  yang miskin, bodoh, terbelakang disebabkan oleh kesalahan para elitenya dalam memahami kepemimpinan sebagai amanah.  Wallahu a’lam.