oleh ; Imam Suprayogo Dua (Catatan) pada 16 Mei 2013 pukul 13:51
Dari aspek kunseptual, pendidikan
yang dikembangkan oleh para kyai atau ulama, lewat pesantren. sudah
sangat utuh dan jelas. Pendidikan pesantren sudah menyentuh aspek kognitif,
psikomotor, dan afektif. Padahal aspek yang disebutkan terakhir, ------aspek
afektif, yang akhir-akhir ini dianggap sangat penting, ternyata
diakui belum berhasil tersentuh oleh pendidikan pada umumnya.
Para ulama atau kyai, lewat
pendidikan pesantren, mampu menghasilkan lulusan yang lebih matang,
baik dari aspek spiritual, akhlak, dan sosialnya. Salah satu kelemahan
pesantren, pada umumnya adalah pada pengembangan sains dan teknologi.
Namun pada akhir-akhir ini, pesantren telah membuka program-program pendidikan
umum, seperti madrasah dan bahkan juga perguruan tinggi. Tidak sedikit
sekarang ini, pesantren merintis lembaga pendidikan dalam bentuk sekolah
tinggi, institut, dan bahkan universitas, dan membuka program-program studi
umum, seperti teknik, ekonomi, pertanian, psikologi, dan lain-lain.
Salah satu keunikan pendidikan di
pesantren adalah kemampuannya dalam membangun tradisi atau kultur. Pendidikan
di pesantren tidak saja dimaknai sebagai pengajaran, yaitu hanya sebatas
memberikan pelajaran oleh guru kepada murid dengan cara memilihkan bahan ajar,
menerangkannya, dan memberi tugas kepada siswa serta mengevaluasinya. Pendidikan
di pesantren benar-benar menanamkan sesuatu kepada alam pikiran, hati atau
jiwa, dan bahkan melakukannya hingga menjadi tradisi dan kekayaan pribadi
para santri-santrinya. Santri tidak cukup diajar tetapi juga dididik,
yaitu lewat pembiasaan dan pemberian contoh tentang apa yang diajarkan di
pesantren itu.
Kelebihan pendidikan di pesantre bahwa
konsep pendidikan pesantren, sejak Menteri Agama dijabat oleh Prof.KH.
Tholkhah Hasan mendapatkan perhatian serius. Kelebihan pendidikan pesantren
mulai saat itu banyak disebut, dan bahkan Prof. Tholkhah Hasan
ketika itu seringkali berkunjung dan memberikan bantuan,
berupa program-program peningkatan kualitas pendidikan Islam yang
dikembangkan oleh para kyai dan ulama dimaksud.
Apa yang dirintis oleh Prof. KH.
Tholkhah Hasan ternyata diteruskan oleh Menteri Agama berikutnya, yaitu
Prof. Said Agil al Munawar, Dr. Maftuh Basuni, dan sekarang ini oleh Dr.
Suryadharma Ali, M.Si. Para Menteri Agama ini memberikan perhatian kepada
pendidikan pesantren, baik lewat UU maupun peraturan pemerintah. Strategi itu
ditempuh sebagai upaya memberikan pengakuan, bahwa pesantren
sebenarnya adalah lembaga pendidikan khas Indonesia yang seharusnya mendapatkan
pengakuan dari pemerintah. Jasa lembaga pendidikan pesantren tidak saja
berupa ikut mencerdaskan anak bangsa, tetapi juga melakukan peran-peran politik
dan bahkan secara langsung dahulu juga ikut serta dalam merebut kemerdekaan
bangsa dari penjajah.
Bahwa ternyata untuk mengembangkan
lembaga pendidikan Islam, termasuk pondok pesantren, tidak cukup
tanpa peran-peran pengambil keputusan politik. Tatkala para pengambil keputusan
politik tidak memihak pada pesantren, maka lembaga pendidikan Islam ini
terabaikan dalam waktu yang cukup lama. Bahkan, jangankan mendapat
perhatian seperti diberi bantuan misalnya, keberadaannya saja tidak
diakui. Banyak alumni pesantren sekalipun pada kenyataannya cakap dan
cerdas, mereka sekedar mendaftar ke sekolah formal yang lebih tinggi atau
apalagi untuk mengisi peluang jabatan pada birokrasi pemerintah, semisal
mendaftar untuk menjadi calon perangkat desa saja, tidak dibolehkan.
Namun tatkala Menteri Agam
dijabat oleh orang-orang yang bisa memahami dan bahkan berpihak kepada
pesantren, maka alumni lembaga pendidikan Islam tradisional dimaksud, sudah
semakin mendapat pengakuan pemerintah. Bahkan dalam batas-batas tertentu,
mereka telah mendapatkan bantuan, seperti misalnya perbaikan ruang belajar,
fasilitas pemondokan, beasiswa, dan bahkan para alumninya
diberi peluang untuk meneruskan ke perguruan tinggi umum, seperti
ITB, UI, UGM, UIN, dan lain-lain.
Dalam diksusi
di UNISMA tersebut, saya kemukakan bahwa belajar dari kenyataan selama
ini, maka pada era politik sekarang, agar peran-peran kyai dan ulama di
negeri ini semakin besar, maka tidak ada salahnya, dan bahkan
seharusnya para kyai dan ulama, tidak hanya sekedar merasa
cukup memiliki Menteri Agama yang berpihak pada pesantren, tetapi lebih
dari itu adalah menjadi pemimpin bangsa dan negara ini. Manakala presiden
dan atau setidaknya wakil presiden RI adalah orang yang mampu memahami konsep
pendidikan pesantren dan memperjuangkannya, maka pesantren ke depan akan
mendapatkan tempat yang lebih jelas dan lebih baik.
Pendidikan yang berbasis agama,
apapun agamanya sebagai negara Pancasila, seharusnya menjadi
pilihan dan tidak sebagaimana masa sebelumnya, yaitu dianggap tidak
penting dan bahkan tidak diakui. Tahun depan, yakni tahun 2014, adalah tahun
politik. Terkait dengan pengembangan pendidikan pesantren dan pendidikan yang
berbasis agama pada umumnya, maka para Kyai dan Ulama ditunggu
kearifannya dalam menentukan pilihan politik, sebagai bagian dari
perjuangan politik pendidikan di negeri ini. Mereka seharusnya tampil untuk
memberikan arah agar ummat tidak salah pilih. Munculnya pemimpin yang
memahami aspirasi ulama itulah kunci kekuatan yang akan menentukan keberhasilan
pendidikan yang berbasis agama. Sebab apapun, di era
politik, semua tergantung pada pengambil keputusan politik. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar