Menurut versi Syafi'iyyah dan Wahabi
WAHABI: “Merupakan perkara yang aneh
adalah semangatnya sebagian ustadz dan kiyai (yang mengaku bermadzhab
syafi'iyah) untuk memangkas habis jenggot mereka…, bahkan sebagian
mereka mencela orang yang memanjangkan jenggotnya, atau mengecapnya
sebagai teroris. Padahal Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengharamkan
mencukur habis jenggot.”
SUNNI: “Mencukur habis jenggot itu
hukumnya dipersesihkan oleh para ulama, antara yang mengatakan makruh
dan yang mengatakan haram. Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i
sendiri adalah makruh, bukan haram.”
WAHABI: “Ibnu Hazm azh-Zhohiri -rohimahulloh-:
اتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا يجوز
Para ulama telah sepakat, bahwa sesungguhnya menggundul jenggot
termasuk tindakan mutslah, itu tidak diperbolehkan. (Marotibul Ijma’
157)”
SUNNI: “Alasan bahwa menggundul jenggot itu makruh bukan
karena tindakan mutslah, tetapi karena agar mukholafah/berbeda dengan
kaum Majusi. Sedangkan alasan mutslah itu pendapat Ibnu Hazm sendiri.
Dalam hadits-hadits shahih diterangkan, bahwa alasan melarang menggundul
jenggot itu karena agar mukholafah dengan kaum Majusi. Karena itu,
memberikan ‘illat mutslah dalam masalah ini sangatlah tidak tepat,
karena sdh ada nash dari Syari’ dalam hadits-hadits shahih.”
WAHABI: “(2) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh-:
يحرم حلق اللحية للأحاديث الصحيحة ولم يبحه أحد
Menggundul jenggot itu diharamkan, karena adanya hadits-hadits shohih
(tentang itu), dan tidak ada seorang pun yang membolehkannya. (Ushulul
Ahkam 1/37, Ikhtiyarot Syaikhil Islam Ibni Taimiyah 19)”.
SUNNI: “Informasi dari Syaikh Ibnu Taimiyah masih perlu dikaji. Beliau
pengikut madzhab Hanbali. Sementara Imam Ahmad bin Hanbal sendiri, masih
memakruhkan menggundul habis jenggot, bukan mengharamkan. Dalam hal
ini, al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullaah, guru Syaikh Ibnu
Taimiyah, dan rujukan kaum Hanabilah berkata:
فَأَمَّا حَفُّ
الْوَجْهِ فَقَالَ : مُهَنَّا سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عَنِ الْحَفِّ
فَقَالَ : لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ لِلنِّسَاءِ وَأَكْرَهُهُ لِلرِّجَالِ.
“Adapun menghilangkan rambut dari wajah, maka Muhannad berkata: “Aku
bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang menghilangkan
rambut dari wajah, maka beliau berkata: “Tidak ada-apa bagi kaum wanita
dan aku memakruhkannya bagi kaum laki-laki.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni,
juz 1 hal. 105).
Dari kutipan di atas, sepertinya Syaikh Ibnu
Taimiyah lupa atau memang tidak tahu terhadap hukum menggundul jenggot
menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi.
Karenanya, ia mengatakan bahwa tak seorang pun yang membolehkan atau
tidak mengharamkan. Padahal Imam Ahmad sendiri dan Ibnu Qudamah
memakruhkan.”
WAHABI: “(4) Abul Hasan al-Qoththon al-Maliki -rohimahulloh-:
واتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا تجوز
Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya menggundul jenggot, termasuk
tindakan mutslah yang tidak diperbolehkan. (al-Iqna’ fi Masailil Ijma’
2/3953)”.
SUNNI: “Pernyataan tersebut sepertinya mengutip dari
Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijma’. Dan kesepakatan di sini masih
kontroversi, mengingat pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan
makruh dalam riwayat di atas.”
WAHABI: “Imam Asy-Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan:
ولا يأخذ من شعر رأسه ولا لحيته شيئا لان ذلك إنما يؤخذ زينة أو نسكا
“Ia (orang yang memandikan mayat) tidak boleh memangkas rambut kepala
maupun jenggotnya si mayat, karena kedua rambut itu hanya boleh diambil
untuk menghias diri dan ketika ibadah manasik saja”. (al-Umm 2/640)”.
SUNNI: “Tidak ada pengikut madzhab Syafi’i yang berbuat apa pun kepada
mayat seperti menggundul rambut kepalanya, apalagi jenggotnya. Bahkan
pengikut madzhab Syafi’i sangat taat terhadap Imam Syafi’i yang
menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Ibnu Qayyimil Jauziyyah,
murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah, dan tokoh kedua kaum Wahabi,
berkata dalam al-Ruh:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ
السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ
الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ
أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ
رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ
وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى
بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ
بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ
فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ
الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ
الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ
بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا
تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ
شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ
أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا
وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ
فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ
الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ
الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ
الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ
اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم
الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧).
“Telah disebutkan dari sekelompok
ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi
makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan
dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di
sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin
Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq
mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan
dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal
dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah
mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di
samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki,
sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah
kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin
Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir
al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya)”.
Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?” Ahmad
menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan
kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya,
bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan
dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku
mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada
Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi,
agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah
al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada al-Syafi’i tentang membaca
al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.”
Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “Kaum Anshar
apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu
mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.” (Syaikh
Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga menyampaikan beberapa riwayat dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:
وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا:
مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ
اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ
ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ
تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ
عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس،
خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ.
(الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).
“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’:
“Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah, Qul
huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah,
aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki
dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya
kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–, meriwayatkan
hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa
mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan
meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak
orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam
Tamanni al-Maut, hal. 75).
Dalam kutipan di atas jelas sekali,
anjuran membaca al-Qur’an di kuburan dari kaum Salaf, Imam al-Syafi’i,
Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi,
pendiri Wahabi. Tetapi kaum Wahabi seperti Ustadz Firanda justru
membid’ahkan dan mensyirikkan.”
WAHABI: “Imam Syafi’i -rohimahulloh- juga mengatakan :
والحِلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم، وهو -وإن
كان في اللحية لا يجوز- فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر، لانه يستخلف، ولو
استخلف الشعر ناقصا أو لم يستخلف كانت فيه حكومة
“Menggundul
rambut bukanlah kejahatan, karena adanya ibadah dengan menggundul
kepala, juga karena tidak adanya rasa sakit yang berlebihan padanya.
Tindakan menggundul itu, meski tidak diperbolehkan pada jenggot, namun
tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya, juga tidak menyebabkan
hilangnya rambut, karena ia tetap akan tumbuh lagi. Seandainya setelah
digundul, ternyata rambut yang tumbuh kurang, atau tidak tumbuh lagi,
maka ada hukumah (semacam denda/sangsi, silahkan lihat makan al-hukuumah
di Al-Haawi al-Kabiir 12/301)". (al-Umm 7/203)
Para ulama
syafi'iyah telah memahami bahwa perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i
rahimahullah menunjukkan bahwa beliau mengharamkan menggunduli janggut.
Diantara para ulama tersebut adalah :
(1) Ibnu Rif'ah :
قال ابن رفعة: إِنَّ الشَّافِعِي قد نص في الأم على تحريم حلق اللحية
Ibnu Rif’ah -rohimahulloh- mengatakan: Sungguh Imam Syafi’i telah
menegaskan dalam kitabnya Al-Umm, tentang haramnya menggundul jenggot.
(Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376)”.
SUNNI: “Sebagian
ulama Syafi’iyah, yaitu Imam Ibnu al-Rif’ah memang memahami bahwa Imam
al-Syafi’i menghukum haram menggundul habis jenggot. Tetapi pendapat
yang mu’tamad dalam madzhab al-Syafi’i adalah makruh.”
WAHABI: “(1) Al-Halimi (wafat 403 H), beliau berkata dalam kitab beliau Al-Minhaaj Fi Syu'abil Iimaan:
لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه, وإن كان له أن يحلق سباله, لأن
لحلقه فائدة, وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره, بخلاف حلق
اللحية, فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء, فهو كجب الذكر
"Tidak
seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski
ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada
faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak
tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu
termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia
seperti menghilangkan kemaluan" (Sebagaimana dinukil dalam kitab
al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H),
terbitan Daarul 'Aaashimah)”
SUNNI: “Ustadz Firanda sepertinya
tidak membaca Kitab al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin secara langsung,
tetapi hanya hasil copas dari karya atau tulisan orang lain. Karena
tulisan di atas tidak mengutip pernyataan kitab al-I’lam secara utuh,
yang akhirnya menyimpulkan makruh menurut madzhab al-Syafi’i.
Selengkapnya Ibnul Mulaqqin berkata demikian:
وقال الحليمي في
منهاجه: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه، وإن كان له أن يحلق سباله،
لأن لحلقه فائدة، وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره، بخلاف
حلق اللحية، فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء، فهو كجب الذكر، وما ذكره في حق
اللحية حسن وإن كان المعروف في المذهب الكراهة.
"Al-Halimi
berkata dalam Minhaj-nya: “Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis
jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya.
Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan
bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas
habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan
menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan". Apa yang
disebutkan oleh al-Halimi tentang jenggot itu bagus, meskipun yang
diketahui dalam madzhab al-Syafi’i hukumnya makruh.” (Sebagaimana
dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul
Mulaqqin (wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah)”
Coba Anda
perhatikan, ternyata Ibnul Mulaqqin, mengomentari pernyataan al-Halimi
memberikan penjelasan, bahwa hukum menggundul jenggot menurut madzhab
Syafi’i yang populer adalah makruh, bukan haram. Komentar tersebut
ternyata tidak disampaikan oleh si Wahabi.”
WAHABI: “(3) Abu Hamid Al-Gozzali rahimahullah (wafat tahun 505 H0, beliau berkata :
وأما نتفها في أول النبات تشبها بالمرد فمن المنكرات الكبار فإن اللحية زينة الرجال
"Adapun mencabuti jenggot di awal munculnya, agar menyerupai orang yang
tidak punya jenggot, maka ini termasuk kemungkaran yang besar, karena
jenggot adalah penghias bagi laki-laki" (Ihya’ Ulumiddin 1/280)
Akan tetapi al-Gozali memberi keringanan jika jenggot yang panjangnya
lebih dari satu genggam boleh untuk dipotong, dengan syarat tidak sampai
mencukur gundul jenggot tersebut. Beliau rahimahullah berkata :
والأمر في هذا قريب إن لم ينته إلى تقصيص اللحية
"Perkaranya dalam masalah ini adalah mendekati, jika tidak sampai mencukur habis jenggot" (Ihyaa Uluumiddin 1/277)”.
SUNNI: “Kalau kutipan di atas adalah murni kutipan Ustadz Firanda dari
kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Hujjatul Islam al-Ghazali, alangkah
tercelanya beliau. Mengutip pernyataan Imam al-Ghazali hanya sepotong.
Tapi kalau Ustadz Firanda mengutip dari gurunya, maka alangkah
tercelanya sang guru yang tidak jujur tersebut. Karena kutipan sepotong
di atas bersifat khusus, yaitu ketika mencukur jenggot karena bertujuan
menyerupai murdi/amrad, dan hukumnya makruh bukan haram. Sedangkan
al-Ghazali sendiri, sebelumnya telah menegaskan begini:
وَفِي
اللِّحْيَةِ عَشْرُ خِصَالٍ مَكْرُوْهَةٍ وَبَعْضُهَا أَشَدُّ كَرَاهَةً
مِنْ بَعْضٍ خِضَابُهَا بِالسَّوَادِ وَتَبْيِيْضُهَا بِالْكِبْرِيْتِ
وَنَتْفُهَا وَنَتْفُ الشَّيْبِ مِنْهَا وَالنُّقْصَانُ مِنْهَا
“Mengenai jenggot terdapat sepuluh perkara yang makruh, sebagian lebih
kuat kemakruhannya dari pada yang lain. Yaitu menyemirnya dengan warna
hitam, memutihkannya dengan belerang, mencabutnya, mencabut ubannya saja
dan mengurangi sebagiannya.” (Hujjatul Islam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum
al-Din, juz 1 hal, 277).
WAHABI: “(4) Ahmad Zainuddin Al-Malibaari Al-Fannaani (wafat tahun 1310 H), ia berkata :
وَيَحْرُمُ حلقُ لِحْيَةٍ
"Dan diharamkan menggungul jenggot"
(Fathul Mu'iin Bi Syarh Qurrotil 'Ain Bi Muhimmaatid diin, hal 305, terbitan Daar Ibnu Hazm)
Tentunya tidak dipungkiri bahwa sebagian ulama madzhab
Syafi'iyah memandang mencukur habis jenggot hanyalah makruh dan tidak
haram. Akan tetapi meskipun makruh namun ia merupakan perkara yang
dibenci dan hendaknya ditinggalkan.”
SUNNI: “Menggundul Jenggot
menurut pendapat mu’tamad dan populer madzhab al-Syafi’i adalah makruh.
Perkara makruh memang dibenci, tetapi masih lebih dibenci sikap
sebagian Wahabi yang curang dalam mengutip pendapat ulama. Curang dalam
mengutip pendapat ulama itu termasuk kebohongan yang jelas-jelas tidak
terpuji dan termasuk dosa besar.” Wallahu a’lam.