Hampir di setiap kota di Indonesia memiliki tempat
prostitusi. Di Indonesia, lokalisasi telah ada sejak jaman
kolonial, dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah kolonial pada tahun
1852 yang menyetujui komersialisasi industri seks, tetapi dengan
serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul
akibat aktivitas prostitusi itu sendiri. Kerangka peraturan tersebut
masih berlaku hingga sekarang, walaupun istilah-istilah yang digunakan
berbeda. Apa yang kita kenal dengan PSK ( pekerja seks komersial )
sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “Wanita Publik”. Dalam
peraturan itu, semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki
kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan
kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit kelamin. Selain itu, untuk
memudahkan pemerintah dalam pengawasannya, para wanita publik dianjurkan
sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil atau lokalisasi.

Pada umumnya, lokalisasi membentuk layaknya sebuah lingkungan pemukiman.
Yang membedakannya adalah para penghuninya, dimana sebagian besar
penghuni lokalisasi merupakan para Pekerja Seks Komersial (PSK).
Kebanyakan para PSK yang menghuni tempat ini adalah pendatang dan atau
sengaja didatangkan oleh para pengelola (mucikari) rumah-rumah bordir
yang mencoba mengais nafkah di tempat tersebut. Lokalisasi memang
memberikan sumber rejeki bagi banyak pihak. Bukan hanya PSK, tetapi juga
pemilik warung, tukang parkir, tukang becak/ojek, tukang cuci
pakaian/binatu dan lain-lain.

Seiring makin menjamurnya tempat hiburan malam seperti night club, cafe
atau diskotik, menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian orang yang
berkantong tebal. Di samping sebagai tempat melepas penat dengan
ditemani alunan musik, kitapun dapat ditemani wanita penghibur yang
memang berkeliaran di tempat ini. Biasanya para wanita penghibur di
tempat ini tidak secara profesional menjalani profesinya, hanya sekedar
untuk senang-senang sekaligus menambah uang saku. Umumnya dari kalangan
mahasiswa bahkan pelajar yang hidup merantau, jauh dari pengawasan orang
tua.

Terlepas dari pro kontrak tentang keberadaan lokasisasi dan tempat
hiburan malam yang identik dengan industri seks, dunia prostitusi telah
ada seiring peradaban manusia di muka bumi ini. Pelacuran atau
prostitusi ada sejak jaman Nabi Shaleh ( 2150-2080 SM ) yang merupakan
Nabi kelima setelah Nabi Adam. Para Antropolog menilai bahwa pelacuran
merupakan fakta yang tidak dapat dielakan, karena adanya pembagian peran
laki-laki dan perembuan yang sudah muncul pada masyarakat primitif yang
berpola patriarki dimana tugas perembuan diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan seks laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar