(Mendaur ulang pemikiran Nusron Wahid)
Oleh : Farid Ulinnuha
*
*( Ketua Ranting GP Ansor Tamanayu )
GP ANSOR (Gerakan Pemuda Ansor) selama
ini dinilai banyak kalangan sebagai organisasi yang dinamis berwacana, yang mana
kader dan out put-nya (alumni) bisa di “jagokan”. Tak sedikit dari
mereka mengatakan bahwa kader-kader Ansor itu “bisa diandalkan”, tetapi sayang
tidak semuanya tuntas dalam hal pengkaderannya. “Cibiran” itu belum tentu benar
sepenuhnya. Namun kita selaku warga Ansor tentu bisa menilainya dengan
melakukan retrospeksi atas perjalanan GP Ansor selama ini.
Indikator termudah dan seringkali
dijadikan tolak ukur keberhasilan dari sebuah organisasi adalah seberapa banyak
(kuantitas) dan seberapa hebat (kualitas) integritas maupun kapabilitas kader
maupun out put (alumni) yang dihasilkannya. Miskinnya sebuah organisasi dalam
mereproduksi intelektual, tokoh atau pemimpin yang memiliki kecakapan yang
profesional, kritis, visioner dan berkarakter, akan menunjukkan macetnya sebuah
organisasi yang berarti pula kegagalan kaderisasi di tubuh organisasi tersebut.
Organisasi kepemudaan seperti halnya
Ansor, selama ini dianggap sebagai agen generasi penerus yang didalamnya
tersedia calon-calon pemimpin dengan berbagai disiplin ilmu serta pengalaman
yang tidak diragukan lagi. Tetapi apakah benar demikian ? Sebab rata-rata
sebuah pergerakan pemuda ataupun organisasi kepemudaan tak ubahnya seperti
kelompok/ Jama’ah Tahlil yang didalamnya vakum akan kederisasi dan
“pendigdayaan” intelektual warganya. GP Ansor merupakan wadah kader-kader NU
dengan basis massa terbesar di Indonesia. Beban berat tersandang di pundak
Ansor. Sebab besarnya massa yang dimiliki menuntut Ansor harus mampu
mencerdaskan serta mencetak kader-kader yang siap pakai dan juga mampu
mengantarkan warganya sebagai generasi penerus agama dan negara yang tetap memegang
teguh kaidah nilai-nilai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Kader merupakan roh organisasi. Oleh
karena itu pengkaderan di tubuh GP Ansor harus diformulasikan secara sistemik
dan terencana dengan baik, sehingga menjadi ujung tombak keberlangsungan dan
kesinambungan dinamika organisasi. Tersistematis artinya, pola pengkaderan di
tubuh GP ansor mengandung esensi dalam rangka memformulasikan tahapan jenjang
kader yang dibangun diatas kerangka pijakan yang jelas dalam bingkai ideologi
dan paradigma gerakan, serta menyangkut muatan yang harus dipunyai oleh kader. Terencana artinya, pengkaderan di
dalam Gerakan Pemuda Ansor diproyeksikan bagi terlaksananya pola kaderisasi
yang tersusun secara regular, berjenjang dan sesuai dengan vivi misi
organisasi. Tidak tuntasnya pengkaderan akan berimplikasi pada menurunnya
kritisme pemikiran serta kualitas kader yang kurang mumpuni, sehingga kurang bisa "diandalkan".
Kalau toh kemudian ada beberapa
kader Ansor yang kritis, piawai dalam gerakan dan pemberdayaan serta “melek”
wacana (intelektual), itu lebih dikarenakan kuatnya kemauan dan kerja keras
individu itu sendiri, bukan imbas nyata dari proses pengkaderan yang terencana
dan tersistemik dari Ansor. Bahkan kalau ingin mengasah dan menambah kemampuan
intelektual serta menemukan tempat yang kondusif bagi pergulatan dengan segala
discourse keilmuan, keIslaman ataupun social humaniora, harus mencarinya di
tempat lain diluar Ansor. Bahkan mungkin mereka lebih banyak bergabung dengan
kelompok kajian, yang justru disana mereka tidak akan pernah menemukan kajian
tentang NU dan Aswaja, sebab kelompok-kelompok tersebut diluar tradisi keNU-an.
Fenomena diatas sungguh ironis, sebab Ansor tidak lagi diyakini mampu
mewadahi sejuta idealisme generasi muda NU, baik dalam ranah pemikiran, gerakan
maupun pemberdayaan. Justru kelompok kajian dan organisasi semi legal lainnya
yang tidak memiliki keterkaitan struktural apapun dengan NU yang mampu
memberikan apa yang mereka butuhkan. Fenomena ini akan sangat membahayakan
eksistensi NU kedepannya.
Beberapa kalangan menilai, bahwa
pengkaderan didalam GP Ansor sudah cukup baik, namun terfokus pada bidang
keBanser-an, yang out putnya memang tidak bisa diremehkan dan bisa diterima
serta disegani oleh semua kalangan termasuk kalangan non muslim. Hal itu
dibuktikan ketika ada konferensi Biksu se-Asia Tenggara yang bertempat di
Wihara Tegalasri Kabupaten Blitar, disana yang menjadi pasukan pengamanan di
dalam Wihara sepenuhnya dipercayakan kepada Banser. Dari segi kualitas dan
kuantitas Banser sudah mumpuni. Seandainya kita hitung jumlah (segi kuantitas)
Banser yang ada di Jawa Timur saja mungkin jumlahnya sepuluh kali lipat
jumlah pasukan Kodam V Brawijaya serta
siap digunakan (segi kuantitas) dalam situasi dan kondisi apapun, karena memang
Banser telah tuntas dikader dalam bidangnya.
Namun disisi yang lain tentunya
dalam hal “pendigdayaan” intelektual dirasakan masih sangat kurang.
Sehingga khalayak mempunyai anggapan bahwa Ansor itu organisasi yang
kader-kadernya “jadug-jadug” tetapi lemah dalam hal pemikiran. Bukan
penilaian yang mengada-ada namun hal itu harus diterima dengan hati yang “legowo”
. Sudah saatnya kita sebagai warga organisasi merekontruksi pola pengkaderan di
tubuh Ansor. Inovasi sistem pengkaderan harus digulirkan, untuk merespon
tuntutan jaman yang kian beragam serta untuk menjaring generasi yang kini kian
menjauhi kegiatan yang berbau keagamaan.
Meski begitu kita patut bangga dan
semua harus mengakui bahwa kader-kader Ansor mampu menembus level nasional
serta mampu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kader-kader Ansor
tersebar diberbagai sektor kehidupan kemasyarakatan serta beberapa sebagaian
diantaranya dipercaya menduduki “profesi” bergengsi. Ada yang menjabat Menteri,
Wakil Gubernur, Anggota Dewan atau paling tidak mereka menjadi tokoh kunci
didaerahnya masing-masing. Realitas ini tentunya cukup menggembirakan. Namun
hal itu masih belum bisa dijadikan satu-satunya parameter bahwa pengkaderan
ditubuh Ansor telah berhasil dan sesuai dengan sistem pengkaderan yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar